Home » Mengenal Aspartam, Pemanis Buatan yang paling Kontroversial
Featured General News Health News News Science

Mengenal Aspartam, Pemanis Buatan yang paling Kontroversial

Aspartam, jenis pemanis buatan yang dikonsumsi jutaan orang setiap hari sebagai pengganti gula dalam produk seperti minuman ringan diet, telah lama menjadi topik perdebatan sengit mengenai dampaknya terhadap kesehatan. Pada Jumat (14/7), Badan Internasional untuk Penelitian Kanker Organisasi Kesehatan Dunia mengklasifikasikan aspartam sebagai zat yang berpotensi memicu kanker bagi manusia, berdasarkan bukti terbatas yang menunjukkan kaitannya dengan penyakit tersebut.

Tetapi WHO menekankan bahwa itu tidak akan mengubah tingkat maksimum asupan aspartam harian yang dapat diterima. Menurut mereka diperlukan lebih banyak penelitian tentang zat tersebut. Berikut adalah penjelasan singkat tentang zat pemanis. Apa itu aspartam?  Aspartam adalah kombinasi dari dua asam amino, fenilalanin dan aspartat. Zat itu ditemukan secara kebetulan pada tahun 1965 oleh seorang ahli kimia yang bekerja untuk perusahaan farmasi Searle yang mencoba mencari pengobatan untuk bisul.

Aspartam memiliki tingkat energi yang mirip dengan gula (satu gram memiliki sekitar empat kalori ) tetapi sekitar 200 kali lebih manis. Ini berarti bahwa jumlah yang jauh lebih rendah dapat digunakan untuk menggantikan gula dan makanan manis, sekaligus menjaga tingkat kalori tetap rendah. Aspartam bukanlah pemanis buatan pertama atau satu-satunya. Sakarin, pertama kali ditemukan pada tahun 1879, juga digunakan untuk produk pemanis buatan, tetapi memiliki sisa rasa yang pahit. Pemanis lain yang lebih alami seperti stevia, yang berasal dari daun tanaman, juga semakin populer dalam beberapa tahun terakhir.

Produk apa yang menggunakan aspartam? Ribuan produk di seluruh dunia menggunakan aspartam, bahkan banyak yang dipasarkan sebagai produk diet, ringan, atau nol kalori. Aspartam biasanya ditambahkan ke minuman ringan, permen karet, permen, jeli, yoghurt, produk susu, obat batuk, pasta gigi, dan makanan penutup yang dibeli di toko. Bagaimana bisa disetujui? Badan Pengawas Obat dan Makanan AS pertama kali menyetujui penggunaan aspartam pada tahun 1974, dalam sebuah keputusan yang kemudian menjadi kontroversi.

Persetujuan aspartam tahun berikutnya ditangguhkan setelah para kritikus mengatakan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa itu berpotensi beracun dan karsinogenik (berpotensi memicu kanker). Pada tahun 1981, FDA menyetujui kembali penggunaannya, dan mengatakan jumlah yang dikonsumsi manusia jauh di bawah tingkat yang bahkan diduga beracun. Aspartam kemudian disetujui untuk digunakan dalam minuman pada tahun 1983. Lebih dari 90 negara telah mengizinkan pemanis tersebut. WHO dan badan kesehatan internasional lainnya telah menetapkan asupan harian maksimum yang dapat diterima untuk aspartam sebesar 40 miligram per kilogram berat badan sehari. Jika satu kaleng minuman ringan diet mengandung 200-300 miligram aspartam, orang dewasa dengan berat 70 kilogram harus minum sembilan hingga 14 kaleng sehari untuk melebihi asupan yang dapat diterima.

Mengapa aspartam kontroversial? Jarang dalam sejarah makanan ada produk yang memicu begitu banyak perdebatan dan kontroversi. Sebuah studi oleh peneliti Italia pada tahun 2010 menyebutkan bahwa aspartam menyebabkan kanker hati dan paru-paru pada tikus jantan. Sementara itu, sebuah studi di Denmark pada 2010 menemukan hubungan antara minuman manis buatan dan perempuan hamil yang melahirkan prematur.

Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan pada hewan telah dikritik karena memberi mereka aspartam jauh lebih banyak daripada yang biasanya dikonsumsi manusia. Di antara manusia, sebagian besar penelitian bersifat observasional, yang berarti mereka tidak dapat secara langsung menunjuk aspartam sebagai penyebab  dan mengesamping faktor gaya hidup lainnya. Setelah tinjauan panjang, Otoritas Keamanan Pangan Eropa pada tahun 2013 memutuskan bahwa aspartam dan produk terkaitnya aman untuk masyarakat umum, selama asupan harian yang dapat diterima tidak terlampaui. Pada Mei lalu, WHO merilis pedoman baru yang menyarankan penggunaan semua pemanis non-gula. Mereka mengatakan bahwa bukti yang ada menunjukkan bahwa zat pemanis tidak membantu penurunan berat badan dalam jangka panjang dan dapat menjadi penyebab peningkatan risiko diabetes dan masalah jantung.

Source : Media Indonesia

Translate